“Cuit cuit cuit. . . . . “ suara nyanyian burung-burung mengawali hari yang cerah, bersama hangatnya mentari membangunkan Sulaiman dari mimpi indahnya semalam, ia adalah seorang anak yang tegar. Ia tinggal di sebuah gubug kecil yang sangat sedarhana di sudut pemakaman di pinggiran kota. Ia tinggal bersama ibunya, ayahnya sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena serangan jantung. Kini ia yang harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi keluarganya, karena ibunya sudah tua dan kesehatannyapun mulai menurun. Meski hidup dalam keterbatasan ia tidak pernah patah semangat, ia tidak pernah mengaluh dan putus asa. Baginya hidup harus dijalani dengan ikhlas dan tegar karena ia percaya dunia pasti berputar, ia yakin suatu saat nanti hidupnya akan lebih baik lagi.
Hari itu, seperti hari-hari yang biasa ia lalui, ia bekerja dengan berjualan koran disepanjang jalanan kota yang kejam, setiap hari ia berjalan menyusuri trotoar yang seakan tak berujung.
“Man. . . . . . “ terdengar suara anak memanggilnya. Dari kejauhan terlihat seorang anak berlari menghampirinya.
“Oh, rupanya kamu San” ternyata anak itu Hasan sahabat baik Sulaiman. Hasan adalah anak pak Subrata, seorang pengusaha kaya raya,. Meskipun demikian ia tidak sombong, ia tidak malun bermain dengan anak orang miskin seperti Sulaiman. Walaupun begitu ayahnya sangat tidak senang bila Hasan bermain dengan sulaiman.
“Ada apa San?”. Sulaiman bertanya, “Nanti kalau ayahmu tahu kamu bias dimarahi”
“Ayahku tidak akan tahu, ini akupunya sesuatu untukmu” Hasan memberikan sebuah buku kepada Sulaiman. Sulaiman memang tidak pernah sekolah, meskipun demikian ia belajar dari Hasan.
“Terima kasih ya San”. Sulaiman tersenyum.
“Kita ini kan sahabat”. Hasan membalas senyumannya. “Aku pulang dulu ya Man”. Hasan bergegas pulang ia takut kalau ayahnya tahu.
‘Hati-hati San”. Sulaiman pun melanjutkan langkahnya menjual Koran.
Suatu hari Sulaiman dan Hasan sedang belajar bersama di sebuah taman di kota. Tidak lama kemudian ayah Hasan Pak Subrata melihat mereka, betapa marahnya Pak Subrata melihat anaknya bermain dengan Sulaiman.
“Hasan…!!” ayo pulang”. Pak Subrata memaksa anaknya pulang.
“Dasar gembel, sudah berapa kali aku peringatkan kamu tidak pantas bermain dengan anakku. Dasar gelandangan”. Gertak Pak Subrata. Hasan hanya terdiam, tetapi dalam hatinya ia menangis.
Sejak saat itu Sulaiman tidak pernah lagi melihat Hasan, iamendengar kabar bahwa hasan dan keluarganya pindah ke luar kota. Namun hari-harinya tetap ia lalui dengan semangat. Selain berjualan Koran ia juga mencari barang-barang bekas untuk ia jual.
Hari demi hari, waktu demi waktu, tahun demi tahun telah berlalu. Kini sulaiman telah memetik manisnya buah yang ia tanam. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya kini ia menjadi orang sukses, ia membuka usaha tempat penampungan dan pengolahan barang-barang bekas.
Suatu hari ada seorang pemulung ke tempatnyabermaksud menjual barang-barang bekas hasil pulungannya. Pemulung yang ternyata Hasan itu melihat sebuah buku yang ia berikan kepada Sulaiman di atas meja. Sulaiman menghampirinya. “Ini uangnya…”. Sulaiman memberikan uang pembayarannya kepada pemulung itu. Ia kaget pemulung itu mirup sekali dengan Hasan sahabatnya.
“Kamu hasan ka…”. Sulaiman bertanya kepada pemulung itu.
“Iya benar, tuan mengenal saya”. Pemulung itu bingung karena ia belum tahu kalau itu Sulaiman sahabatnya.
“Aku Sulaiman, apa kau ingat”. Sulaiman senang bisa bertemu kembali dengan sahabatnya.
“Kamu Sulaiman”. Hasan juga senang akhirnya bisa bertemu dengan Sulaiman lagi.
“Sudah 10 tahun kita tak bertemu ya, Bagaimana kabarmu”. Sulaiman bertanya pada sahabatnya.
“Yah, seperti yang kau lihat. Perusahaan ayahku bangkrut dan semua kekayaannya disita bank”. Mata Hasan berkaca-kaca.
“Aku mengerti perasaanmu. Aku harap kamu tabah menerima semua ini. Oh iya, apa kamu bersedia bekerja di tempatku. Kebetulan aku membutuhkan seseorang untuk menangani usahaku ini”. Sulaiman menawarkan pakerjaan kepada Hasan.
“Tentu saja, dengan senang hati Tuan”. Hasan menjawab dengan wajah berseri.
“Jangan panggil aku tuan, panggil aku Sulaiman. Kita ini kan sahabat”. Sulaiman tersenyum.
Begitulah akhirnya dua sahabat yang telah lama terpisah kembali bertemu. Hidup ini memang misteri, tidak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Yang terpenting adalah kita selalu berusaha dan berdo’a, berharap hari esok yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar