Bisa dibilang, Kartini (Raden Adjeng Kartini) adalah feminis pertama di Indonesia, dengan pemikiran-pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Kalau dunia saja mengaguminya, sebagai wanita Indonesia, rasanya rugi bila kita tidak pernah membaca surat-surat yang ditulis Kartini.
Masihkah Kenal Kartini?
Dalam sejarah, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) diperkenalkan sebagai pahlawan nasional yang memperjuangkan kesetaraan bagi wanita bumiputera, melalui pemikirannya dalam kumpulan surat berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Setelah lebih dari seratus tahun, berapa banyak yang kita kenal tentang Kartini?Paling banter, sewaktu kecil, tiap 21 April, kita berpawai dalam baju nasional, sambil menyanyikan lagi Ibu Kita Kartini.
Jauh sebelum seorang gadis Yahudi, Anne Frank, menuliskan catatan hariannya selama dalam persembunyiannya di Belanda, saat Perang Dunia II (dibukukan dengan judul The Diary of Anne Frank), sesungguhnya Kartini telah lebih dulu melakukan hal yang sama. Dia mengungkapkan pemikirannya secara tertulis, dalam bentuk surat pribadi kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandiri.
Menulis, kegiatan intelektual itu saja sudah jauh melampau zamannya, apalagi bagi wanita Jawa yang hidup akhir abad ke-19. Belum lagi bagi kita menyimak buah-buah pemikirannya, yang sebagian ternyata masih aktua dengan persoalan wanita masa kini. Gaya penulisannya juga sistematis dan mengalir-aslinya dalam bahasa Belanda, sehingga enak dibaca, layaknya karya penulis profesional.
Memahami Kartini tentunya kita jangan membayangkan konteks zaman sekarang, dengan berbagai gadget canggih, yang bisa menghubungkan kita dengan setiap sudut dunia. Saat Kartini menulis surat-suratnya ia hanya seorang gadis Jawa berusia 21 tahun, yang hidup sekitar 130 tahun lalu, di sebuah kota kecil di pesisir Jawa, saat Belanda menguasai bangsa ini. Dengan pemahaman akan zaman itu, kita pantas menyimpulkan bahwa Kartini adalah wanita jenius pada zamannya.
Hendaknya kita juga tidak sinis, hanya karena pada akhirnya Kartini menyerah pada tuntutan adat dan masyarakat patriarkat, yaitu menikah dengan pria yang telah beristri dan beranak. Karena, walaupun ia sendiri tak berhasil menggapai cita-citanya, Kartini telah berhasil membuat wanita Indonesia masa kini bias menanamkan cita-cita setinggi langit dan sekaligus meraihnya.
Dan, Kartini adalah milik kita, milik bangsa kita. Sebelum makin ditelan lupa, tak ada salahnya kita merenungkan dan mengapresiasi kembali pemikiran-pemikiran Kartini yang terangkum lewat surat-suratnya yang legendaris itu.
Tak Takut Mengkritik
“Panggil Aku Kartini”, itulah permintaan Raden Ajeng Kartini saat ia memulai korespodensinya dengan Stella Hartshalt. Ia tak mau namanya ditambahi embel-embel Raden Ajeng. Mungkin, itulah cara Kartini untuk menunjukkan bahwa ia ingin melepaskan beban feodalisme yang dipikulnya, sekaligus ingin menunjukkan bahwa ia adalah wanita merdeka yang bebas berpikir dan bertindak. Padahal, Raden Ajeng bukan gelar bangsawan Jawa biasa, melainkan gelar bangsawan tinggi. DI Eropa sekalipun, hingga saat itu masih banyak wanita berdarah bangsawan yang dengan bangga mencantumkan gelar Lady, Countess, dan sebagainya, pada nama mereka. Namun, bagi Kartini, gelar kebangsawanan justru memberi beban tersendiri. Setidaknya, ia hanya boleh menikah dengan pria yang sama-sama bangsawan tinggi. Dan, karena jumlah mereka tidak banyak, besar kemungkinan dia harus menikah dengan pria yang sudah beristri.
Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa Kartini terlalu memuja peradaban Barat. Mungkin karena di beberapa bagian suratnya, ia suka mengkritik adat dan tradisi bangsanya sendiri yang diaggapnya picik. Namun, sesungguhnya Kartini cukup objektif dalam menilai. Memang, ada beberapa hal dalam kebudayaan Barat yang dikaguminya, namun tak sedikit pula yang tak disukainya dan dikritiknya dengan lumayan pedas.
“Orang Belanda sering menganggap orang Jawa adalah penipu ulung, sama sekali tak dapat dipercaya, dan sekali-sekali tidak mengenal terima kasih. Sungguh, kami tidak berharap bahwa dunia Eropah akan membuat kami lebih bahagia. Bahwa dengan kesungguhan hati kami mengira “Masyarakat Eropa adalah satu-satunya yang murni, yang unggul, dan tak terkalahkan”, masanya telah lama lampau. (27 Oktober 1902). Misalnya, ia berkali-kali menyaksikan adegan yang ‘meluhurkan budi’, yang dilakukan orang Eropa. Salah satunya, seorang pria Eropa dengan kasar memisahkan dua gadis Eropa yang sedang asyik bercakap-cakap, berpegangan tangan dan saling bersandaran. “Perempuan jahat!” bentak pria Eropa tersebut. Padahal, Kartini mendengar sendiri bahwa isi percakapan kedua wanita itu murni percakapan dua sahabat karib. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini sering mendengar orang-orang Belanda mengejek kaum pribumi yang senang mengisap candu. Namun, ketika sang suami hendak menghentikan perdagangan candu, ia justru ditentang oelh seorang anggota Dewan Hindia Belanda. “Bupati terlalu terburu-buru. Jangan lupa, Gubernemen masih sangat membutuhkan uangnya.” “Lihatlah! Jadi bukan bangsa Bumiputera, melainkan Gubernemen sendiri yang tidak dapat melepaskan candu itu”, Kartini mengkritik kemunafikan tersebut. Dalam suratnya yang lain, Kartini melontarkan kemarahannya saat Gubernemen akan menerapkan pajak kepada rakyat miskin. Pupuk kalelawar yang dimiliki orang kecil untuk memberi pupuk ladangnya, akan dirampas pula.
Wanita (Pribumi) Harus Terdidik
Sebelumnya, tak ada yang pernah menanyakan kepadanya, “Kalau besar, nanti, kau ingin jadi apa?” Waktu itu, Kartini duduk di tahun akhir sekolahnya di ELS. Jelas itu bukan pertanyaan yang umum bagi anak perempuan Jawa dari generasinya. Karena itu, Kartini tersentak saat Lesty- teman sekelasnya, anak Belanda mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan sekolah ke Belanda, untuk kemudian menjadi guru. “Kamu sendiri, kelak ingin jadi apa?” (bagian ini ditulis dengan gaya orang ketiga. Kartini menyebut dirinya ‘gadis kecil Jawa itu’). ” Harus jadi apakah gadis-gadis? Yah, jadi Raden Ayu, tentu saja!” ujar kakak lelakinya. (Catatan: Setelah menikah, gelar Raden Ajeng berubah menjadi Raden Ayu. Tentunya bila ia menikah dengan pria yang juga bangsawan tinggi). Ia lantas memohon kepada ayahnya untuk diizinkan bersama anak laki-laki bersekolah di Semarang.. tapi, perlahan-lahan tapi pasti, keluar dari mulut sang Ayah, “Tidak!” Namun, penolakan itu justru makin membakar jiwa Kartini. Bahkan, dengan berani ia pernah meminta bantuan kepada Nyonya Abendanon untuk mencarikan beasiswasa dari pemerintahan agar ia bisa melanjutkan pelajaran ke sekolah guru di Belanda. Ia bercita-cita mendirikan sekolah untuk anak perempuan, khususnya anak perempuna bumiputra, yang selama itu tak pernah diizinkan mengenal kemajuan. Karena, menurutnya, pendidikan bagi kaum wanita sangatlah penting. Ia yakin, wanita yang terdidik kelak juga akan mendidik anak-anak (perempuan)-nya dengan lebih maju. “Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukannya karena perempuan yang dipandang cocok untuk tugas itu… tapi (karena dari) perempuanlah dapat dipancarkan pengaruh besar, yang berakibat sangat jauh, baik yang bermanfaat maupun yang merugikan…. Dari perempuan, manusia menerima pendidikannya yang pertama-tama, di pangkuannya anak belajar merasa, berpikir, berbicara… Dan bagaimana ibu-ibu bumiputera itu dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?” (31 Januari 1901).
Kartini berpendapat, untuk menjadi pengajar, ia terlebih dahulu harus melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Semarang. Untuk itu, ia rela tinggal di biara atau mondok di rumah keluarga Belanda. Roekmini dan Kardinah pun jadi ikut terbakar semangatnya, dengan mengatakan ingin bersekolah bidan ke semarang (meskipun akhirnya Kardinah menyerah dan bersedia dinikahkan dengan Bupati Tegal yang sudah punya istri. Kardinah menikah lebih dulu, melangkahi kedua kakak perempuannya).
Pada dasarnya, ayahnya menyetujui keinginan ketiga gadisnya itu, namun keluarga besarnya menolak keras. Alasannya kalau gadis-gadis itu dibiarkan terlalu bebas, tak ada pria bangsawan yang mau mengambil mereka sebagai istri. Berbagi cara dilakukan keluarganya untuk mencegah Kartini sekolah ke Semarang. Termasuk dengan ‘cara halus’, yaitu dengan ‘mencuri’ kebaya bekas pakai milik Kartini yang belum dicuci untuk dibawa ke dukun. Namun, Kartini malah menganggap hal itu sebagai lelucon yang lucu sekaligus menyebalkan.
Oleh ibu tirinya, Kartini bahkan dianggap gadis aneh, sekaligus kambing hitam dalam keluarga. Tapi, kemudian sang ibu tiri tak bisa berbuat banyak, karena ternyata Roekmini (anak kandungnya) juga tak kalah ‘gila’. Dan sekarang, Ibunda tak dapat menyerang saya (lagi) mengenai kecendrungan liberal saya. Roekmini sama ‘gilanya’ dengan saya, tulis Kartini. Karena terus ditentang, Kartini makin nekat. Kepada Nyonya Abendanon, ia minta tolong agar dicari beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bersekolah ke negeri Belanda. Bukan hanya itu, ia juga mengirim surat ke sejumlah pejabat Belanda untuk maksud yang sama.
Akhirnya, keinginan Kartini untuk bersekolah ke Belanda meledak menjadi polemik yang bersifat politis. Sejumlah gerakan feminis di negeri Belanda ramai-ramai menuntut pemerintah Hindi Belanda agar Kartini dan Roekmini secepatnya diizinkan dan diberi beasiswa ke Belanda. Di sisi lain, pemerintah bersikap maju-mundur. Artikel tentang Kartini pernah dimuat oleh Nellie Van KOl, seorang penulis Belanda yang tinggal di Betawi, di De Echo, sebuah surat kabar yang terbit di Hindia Belada. Tulisan itu kemudian banyak dikutip di mana-mana, termasuk di media-media Belanda. Kartini bukannya tak menyadari bahwa dirinya dijadikan bahan politisasi berbagai pihak. Namun, tampaknya ia sudah kepalang basah. Ini ‘iklan’ yang sangat bagus bagi majalah mereka, tulis Kartini dengan pahit. ” Majalah De Hollandase Lelie (sebuah majalah wanita yang terbit di Belanda) menyediakan ruangannya untuk saya dan direktrisnya berulang kali minta supaya boleh memuatkan surat-surat saya. Untuk apa? Untuk iklan! Surat-surat seorang gadis dari Timur, seorang gadis Jawa sejati, buah pikiran orang yang setengah biadab, dan ditulis dalam bahasa Eropah oleh dia (Kartini) sendiri, aduhai, alangkah menariknya! Dan kalau kelak cita-cita kami kandas dan kami hancur, hal itu tak kalah menariknya”. (27 Oktober 1902)
Salah satu yang menentang keinginan Kartini adalah mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jenderal Van Der Wijk. Alasanya karena.. “Nona-nona tidak boleh bergantung pada amal yang tidak sesuai dengan kedudukan nona-nona sebagai puteri Bupati.” Namun, Kartini tidak peduli. Kebanyakan orang tak berani mengambil resiko sedikit pun, tulisnya. Bahkan, lanjutnya, kalau perlu ia akan menulis surat kepada Gubernur Jenderal, Menteri, atau bahkan langsung kepada Sri Ratu (Belanda)! Tak sedikit pejabat Hindia Belanda yang mengejeknya. Salah satunya Residen Semarang (orang Belanda) yang bahkan terang-terangan menyebutnya ‘gila’. “Hati-hati, jangang sampai orang lain mendengar. (Kalau sampai mereka mendengar) nanti tidak ada yang mau meminang kamu. Kan sayang kalau kalian berdua (Kartini dan Roekmini) tidak kawin, kalian cantik sekali.
0 komentar:
Posting Komentar